Sabtu, 06 November 2010

KONTROVERSI HADITS AHAD DIKALANGAN ULAMA

A. Pendahuluan
Pembahasan seputar Hadîts Ahâd sudah menjadi polemik sepanjang masa. Selama para pengikut masing-masing pihak yang berpolemik masih ada, maka selama itu pula perdebatan seputar hal itu tetap berlangsung, kecuali sampai batas yang dikehendaki oleh Allah. Sekalipun demikian, yang menjadi tolok ukur suatu kebenaran adalah sejauh mana berpegangan kepada al-Qur'an dan as-Sunnah melalui argumentasi-argumentasi yang kuat, valid dan meyakinkan.
Ada golongan yang berkeyakinan dan keyakinannya itu salah bahwa Hadits Ahâd bukan hujjah bagi 'aqidah. Karena menurut mereka, Hadits Ahâd itu bukan Qath'iy ats-Tsubût (keberadaan/sumbernya pasti), maka mereka menganggap hadits tersebut tidak dapat memberikan informasi pasti.
B. Definisi Hadits Ahad
Hadits Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir.
Macam-macam hadits ahad; pertama; Hadits gharîb (hadits Ahad yang diriwayatkan oleh satu orang pada setiap jenjangnya). Kedua; Hadits 'Azîz (diriwayatkan oleh dua orang pada setiap jenjangnya). Ketiga; Hadits Masyhûr (hadits Ahâd yang diriwayatkan oleh jama'ah (banyak orang) namun tidak mencapai derajat mutawatir)
Hadits Ahâd menurut Muhadditsin (para ahli hadits) dan Jumhur (mayoritas) ulama muslimin, wajib diamalkan apabila memenuhi syarat keshahihan dan diterimanya hadits itu. (dari Buletin an-Nur, tahun VI, No. 247/Jum'at I/Jumadal ula 1421 H)
C. Contoh-contoh hadits ahad

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَان َ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Islam dibangun diatas lima asas (yaitu) syahadat (persaksian) bahwa tidak Ilah yang hak kecuali Allah dan syahadat bahwa Muhammad itu Rasulullah, mendirikan shalat, memberikan zakat, haji dan puasa ramadlan (dalam riwayat lain puasa Ramadlan baru haji)"

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Iman itu ada enam puluh cabang lebih dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman".

Dan di riwayat Imam Muslim

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
"Iman itu tujuhpuluh cabang lebih, Yang paling tinggi adalah ucapan laailaha illallaah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan salah satu cabang iman".

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak akan beriman (sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya".


قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Tidak akan beriman (tidak akan sempurna keimanan) salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dicintai daripada bapak dan anaknya dan semua orang".

قَالَ ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ada tiga hal, jika ketiganya terkumpul pada diri seseorang maka ia akan mendapatkan manisnya iman; (yaitu) Allah dan Rasulnya lebih dicintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang, ia tidak mencintainya kecuali karena Allah dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana dia benci dilempar kedalam api neraka".

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ فَقَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ
"Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling afdhal?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Iman kepada Allah dan RasulNya." Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Jihad di jalan Allah'. Kemudian ditanya lagi, 'Lalu apa lagi ?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, 'Haji yang mabrur.”

قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّنَا لَمْ يَظْلِمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Ibnu Mas'ud mengatakan, "ketika turun firman Allah (yang artinya) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al An'am 82), para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, 'Siapakah diantara kita yang tidak berbuat zhalim ?' lalu Allah menurunkan firmanNya (yang artinya), sesungguhnya kesyirikan itu adalah kezhaliman yang besar"
hadits tentang Jibril yang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu bertanya Islam, iman dan ihsan, dan di Shahih Bukhari diringkas.

مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Apakah iman ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya, pertemuan denganNya, para rasulNya dan beriman kepada hari kebangkitan.' Jibril bertanya, 'Apakah Islam ? Rasulullah n bersabda, 'Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan sesuatupun denganNya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang wajib, puasa Ramadlan. Jibril bertanya, 'Apakah Ihsan ? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda, 'Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak bisa melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu …"
hadits tentang utusan Abdul Qais yang datang kepada Rasulullah, lalu menyambut mereka dan memerintahkan kepada mereka empat perkara dan melarang dari empat perkara.

أَمَرَهُمْ بِالْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامُ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ وَصِيَامُ رَمَضَانَ وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ
"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintah mereka agar beriman kepada Allah Azza wa Jalla semata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya, 'Tahukah kalian, apakah berimankepaada Allah semata itu? Mereka menjawab, 'Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau menerangkan, 'syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa salalm itu Rasulullah, menegakkan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadlan dan memberikan seperlima dari ghanimah…"

hadits dari jalan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ مُعَاذًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ ادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
"Bahwasanya rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu'adz Radhiyallahu 'anhu ke Yaman, lalu rasulullah bersabda, 'Serulah mereka kepada syahadat (persaksian) bahwa tidak ilah yang haq kecuali Allah dan bahwasanya aku Rasulullah. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima kali sehari semalam. Jika mereka mentaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka".

Dan yang terakhir hadits masyhur dan telah diterima oleh para ulama.

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
"Sesungguhnya mantera-mantera (yang bathil), jimat dan pelet termasuk bagian syirik".

D. Pendapat Para Ulama Mengenai Hadits Ahad

1. Pendapat yang membenarkan hadits ahad bisa dijadikan hujjah diseluruh aspek

Ibnu Hajar berkata : "Hadits yang didukung dengan qarinah (Penguat), bisa
saja sampai tingkat memberikan ilmu ( keyakinan ). Hadits yang seperti ini ada
beberapa macam. Diantaranya yaitu hadits-hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori &
Muslim Dalam kitab Shahihnya. Walaupun hadits-hadits itu tidak sampai derajat
mutawatir, namun dia didukung dengan beberapa hal yang menguatkannya. Diantaranya:
a. Kesepakatan Bukhori & Muslim dalam periwayatannya
b. Kejelian mereka memilah Hadits yang Shahih dari yang lain
c. Sikap para ulama yang menerima secara utuh Kitab Shahih mereka

Ibnu Sholah dalam Muqoddimahnya berkata. "Semua riwayat yang telah
disepakati bersama oleh Bukhori & Muslim, semuanya telah diakui keshahihannya.
Kami hadirkan kpd anda contoh-contoh hadits Ahad :
a. Kenabian Adam.
b. Sepuluh orang yang dijamin masuk surga
c. Keutamaan kenabian Nabi Muhammad SAW atas seluruh nabi dan rosul
d. Pertanyaan malaikat Munkar & nakir dalam kubur
e. Beriman kepada Qadha & Qodar
f. Turunnya Nabi Isa

2. Pendapat yang hanya menjadikan hadits ahad boleh dipakai dalam hal amaliah bukan masalah Aqidah

Sayyid Qutub dalam tafsir Fi Dzilalil Quran menyatakan, bahwa, hadits ahad tidak bisa dijadikan sandaran (hujjah) dalam menerima masalah ‘aqidah. Al-Quranlah rujukan yang benar, dan kemutawatirannya adalah syarat dalam menerima pokok-pokok ‘aqidah .

Imam Syaukani menyatakan, “Khabar ahad adalah berita yang dari dirinya sendiri tidak menghasilkan keyakinan. Ia tidak menghasilkan keyakinan baik secara asal, maupun dengan adanya qarinah dari luar…Ini adalah pendapat jumhur ‘ulama. Imam Ahmad menyatakan bahwa, khabar ahad dengan dirinya sendiri menghasilkan keyakinan. Riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Hazm dari Dawud al-Dzahiriy, Husain bin ‘Ali al-Karaabisiy dan al-Harits al-Muhasbiy.’

Prof Mahmud Syaltut menyatakan, ‘Adapun jika sebuah berita diriwayatkan oleh seorang, maupun sejumlah orang pada sebagian thabaqat –namun tidak memenuhi syarat mutawatir [pentj]—maka khabar itu tidak menjadi khabar mutawatir secara pasti jika dinisbahkan kepada Rasulullah saw. Ia hanya menjadi khabar ahad. Sebab, hubungan mata rantai sanad yang sambung hingga Rasulullah saw masih mengandung syubhat (kesamaran). Khabar semacam ini tidak menghasilkan keyakinan (ilmu) .”

Beliau melanjutkan lagi, ‘Sebagian ahli ilmu, diantaranya adalah imam empat (madzhab) , Imam Malik, Abu Hanifah, al-Syafi’iy dan Imam Ahmad dalam sebuah riwayat menyatakan bahwa hadits ahad tidak menghasilkan keyakinan.”

Imam Asnawiy menyatakan, “Sedangkan sunnah, maka hadits ahad tidak menghasilkan apa-apa kecuali dzan ”

Imam Bazdawiy menambahkan lagi, ‘Khabar ahad selama tidak menghasilkan ilmu tidak boleh digunakan hujah dalam masalah i’tiqad (keyakinan). Sebab, keyakinan harus didasarkan kepada keyakinan. Khabar ahad hanya menjadi hujjah dalam masalah amal. ”

Al-Qadliy berkata, di dalam Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib berkata, “’Ulama berbeda pendapat dalam hal hadits ahad yang adil, dan terpecaya, apakah menghasilkan keyakinan bila disertai dengan qarinah. Sebagian menyatakan, bahwa khabar ahad menghasilkan keyakinan dengan atau tanpa qarinah. Sebagian lain berpendapat hadits ahad tidak menghasilkan ilmu, baik dengan qarinah maupun tidak.”

Syeikh Jamaluddin al-Qasaamiy, berkata, “Jumhur kaum muslim, dari kalangan shahabat, tabi’in, dan ‘ulama-ulama setelahnya, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, serta ‘ulama ushul; sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah; wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan saja, tidak menghasilkan ‘ilmu.”

Dr. Rifat Fauziy, berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang,dua orang, atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung hingga Rasulullah saw. Hadits semacam ini tidak menghasilkan keyakinan, akan tetapi hanya menghasilkan dzan….akan tetapi, jumhur ‘Ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.”

Issa ibn Aban (w. 220 H), murid dari Imam Hasan As-Shaibani (w. 189 H) dalam bukunya menyatakan secara jelas: “ Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi sebagai dalil amal perbuatan ”.
Ali ibn Musa al –Qummi (w. 305 H), dalam kitabnya (Khobar Ahad) menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
Imam At-Thobari (w. 310 H), dari Imam Al-Sarkhasi (Ushul Al-sarkhasi), Imam At-Thobari menyatakan: “Hadis Ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah, tetapi dalil dalam masalah amal perbuatan ”.
PARA ULAMA HAMBALIYAH
Imam Ahmad bin Hambal berpendapat yang dikutip oleh Imam Muhammad Abu Zahra: “ Kami memandang bahwa Imam Ahmad dalam masalah Aqidah berpegang pada dalil-dalil syara’ ( secara Manqul), tidak tunduk kepada hasil akal semata. Beliau adalah seorang Ulama Ahli Sunnah………..Maka Imam Ahmad berpegang pada nash yang ditegakkan berdasarkan dalil Qoth’I karena ia (dalil qoth’I yaitu Al-qur’an dan Hadis Mutawatir –pent) berasal dari Allah SWT dan juga dengan ucapan Rasul yang Qoth’I juga berasal dari Allah SWT….” (Lihat Tarikh Al-Madzhib Al-Islamiyah hal. 506).
Abu Bakar Al-Astram mengutip tulisan Abu Hafs Umar bin Badr menyatakan, bahwa Imam Ahmad telah berkata: “Jika ada hadis ahad mengenai hukum, dia harus diamalkan. Saya berkeyakinan demikian, tetapi saya tidak menyaksikan bahwa Nabi saw., benar-benar menyatakan demikian” ( Ma’anil Hadis).
Abu Ya’la, menyatakan: “Apabila umat sepakat atas hukumnya dan sepakat untuk menerimanya, maka hadis ahad berfaedah yakin dan tidak ada keraguan didalamnya ( jika umat tidak sepakat, berarti hadis ahad kembali pada status asalnya yaitu dalil yang menghasilkan Dzon –pent)”.
Abu Muhammad, menegaskan: “Hadis Ahad tidak berfaedah qoth’i. Dan inilah pendapat kebanyakan pendukung dan Ulama Mutaakhirin dari pengikut Imam Ahmad” (lihat Kitab Raudhah).
Abu Khatab ( Murid Imam Hambali) menyatakan: “ Ijma’ yang diriwayatkan secara Ahad tidak Qoth’I, tetapi digunakan sebagai dalil masalah amal perbuatan”.
Menurut sebagian Ulama Hambaliyah bahwa hadis ahad tidak boleh dipakai untuk mentakhsis ayat-ayat Al-Qur’an yang ‘Aam dan pendapat ini diikuti oleh Ahli Dzohhir (pengikut dari Abu Dawud Adh-Dhohhiri) (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
PENDAPAT PARA ULAMA SYAFI’IYAH
Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari Al-Qur’an , karena Al-Qur’an adalah Mutawatir (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 31).
Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali (w. 505 H) berkata: “Tatkala sebuah hadis terbukti sebagai hadis Ahad, maka in tidak berfaedah Ilmu\Dzoni dan masalah ini sudah diketahui dengan jelas dalam Islam (ma’lumun bi al-Dharuri)”. Lalu beliau melanjutkan penjelasannya: ‘’Adapun pendapat para Ahli hadis bahwa ia (hadis Ahad-pent) adalah menghasilkan Ilmu\qoth’I adalah hadis Ahad yang wajib untuk diamalkan dan ketentuan ini ditetapkan berdasarkan dalil-dalil Qoth’I (yang menghasilkan Ilmu\qoth’I-pent)” ( Al-Mustasfa min Ilm’ al-Ushul juz 1\hal 145-146 -pent).
Imam Abu Al-Hasan Saifudin Al-Amidi (w. 631), beliau berkata : ‘’Bahwa maslah Aqidah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qoth’I, sedang masalah furu’ cukup ditetapkan dengan dalil-dalil dzoni’’. Lalu menambahkan: ‘’Barang siapa menolak Ijma’ (konsensus-pent) dalam masalah ini telah gugur pendapatnya, dengan adanya kasus pada masalah fatwa dan kesaksian. Perbedaan antara masalah Ushul dan furu’ adalah sangat jelas. Mereka yang menyamakan masalah ushul dan masalah furu’ berarti telah membuat hukum sendiri, hal ini adalah sesuatu yang mustahil dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang sombong dan arogan’’ (Lihat Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Al-Amidi juz I\hal. 71-72; Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam Imam Ibn Hazm juz I\hal. 114 -pent).
Imam Abu Zakariya Muhyidin Al-Nawawi (w. 676 H), dalam pengantar syarah Shohih Muslim ketika membahas kelemahan pendapat Ibn Sholah yang menyatakan bahwa Hadis Ahad adalah Qoth’i. Setelah menulil pernyataan Ibn Sholah, beliau menegaskan : ‘’Pendapat ini menyalahi pendapat para Ahli Tahqiq dan jumhur Ulama, walaupun hadis tersebut ada dalam kitab shohihain selama tidak mencapai derajat mutawatir, maka hadis itu menghasilkan dzon. Dalam masalah ini Imam Bukhari, Imam Muslim dan para Imam Hadis lainnya dihukumi dengan cara yang sama” . Ibnu Burhan dan Ib Abdis salam pun menentang pendapat Ibn Sholah diatas (Syarah Shohih Muslim juz 1\hal. 130-131).
Al-Hafidz Ibn Hajar (w. 852 H) menyatakan dengan menukil pendapat Imam Yusuf Al-Kirmani bahwa : “Hadis ahad tidak dijadikan dalil dalam masalah aqidah’’ (Fathul bari juz 8, bab khobar Ahad).
Imam Jalaludin Abdur Rahman bin Kamaludin As-Suyuti (w. 911 H) menyatakan : ‘’ hadis Ahad tidak Qoth’I dan tidak dapat dijadikan dalil dalam masalah Ushul atau Aqidah” (Tadrib Al-Rawi Fi Syarh Taqrib Al-Nawawi) dan juga lihat pada kitabnya yang lain (Al-Itqon Fi Ulum Al-Qur’an juz 1\hal. 77 dan juz 2\hal.5).
PENDAPAT PARA ULAMA MALIKIYAH
Imam Al-Hafidz Abu Nu’aim Al-Isfahani (w 430 H) berkata : “Hadis Ahad tidak menghasilkan Ilmu\dzoni, tetapi dapat dijadikan dalil dalam cabang Hukum Syari’at”.
Ulama-ulama Malikiyah tidak mengamalkan hadis ahad yang bertentangan dengan amal Ahli Madinah (Ilmu Mustholah Hadis ; Ust. Moh. Anwar Bc. Hk, hal. 32).
Imam Malik ra. menegaskan : “Hadis Ahad apabila bertentangan dengan Qowa’id (kaidah-kaidah), maka ia tidak diamalkan (Fathul Bari juz 4\hal. 156).
PERNYATAAN DARI ULAMA LAINNYA:
Imam Asnawi menyatakan : “Syara’ memperbolehkan dalil dzoni dalam masalah-masalah amaliyah yaitu masalah furu’ tanpa amaliyah dalam masalah Qowaid Ushul Ad-din. Demikianlah Qowaid Ushul Ad-din sebagaimana dinukil oleh Al-Anbari dalam Kitab Syarah burhan dari para Ulama yang terpercaya” ( Nihayah Fi Ilm’ Al-Ushul).
Imam Ibn Taimiyah berkata : “ khobar ahad yang telah diterima (terbukti shohih-pent) wajib mewajibkan ilmu menurut Jumhur sahabat Abu hanafi, Imam Malikl, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Dan ini merupakan pendapat kebanyakan sahabat Imam Asy’ari seperti Al-Asfaraini dan Ibn faruk. Tetapi hadis Ahad hukum asalnya tidak berfaedah kecuali dzoni. Bila ia didukung dengan ijma’ ahlul ilmi dengan hadis lainnya maka ia dapat memberi faedah yang pasti (naik derajatnya menjadi hadis mutawatir maknawi –pent) (Lihat Majmu Fatwa juz 18, hal. 41).
Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)” (Qawaidut Tahdis, hal. 147-148)
Imam Kasani menyatakan : “Pendapat sebagian besar fukoha menerima hadis ahad yang terpercaya dan adil serta diamalkan dalam masalah tasyri’ kecuali masalah aqidah, sebab I’tiqod wajib dibangun dengan dalil-dalil yang qoth’I, yang tidak ada keraguan didalamnya, sementara masalah amal (tasyri’) cukup dengan dalil yang rajih (kuat) saja” ( Badaa’iu shanaa’I juz 1\hal. 20).
Imam Abi Muhammad Abdurrahim bin Hasan Al-Asnawi (w. 772 H), berkata: “Hadis Ahad hanya menghasilkan persangkaan saja. Allah SWT membolehkan hanya dalam massalah amaliyah (tasyri’), yang menjadi cabang-cabang agama, bukan masalah ilmiah seperti kaidah-kaidah pokok hukum agama” ( Syarh Asnawi Nihayah as-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al-Ushul Al-Baidhawi, juz 1\hal. 214).
PENDAPAT PARA ULAMA KONTEMPORER
Syeikh DR. Rif’at Fauzi menegaskan: ‘’Hadis semacam ini (hadis ahad) tidak berfaedah yakin dan qoth’i. Ia hanya menghasilkan Dzon’’.
Syeikh DR. Abdurahman Al-Baghdadi, menyatakan: “Para Ulama sepakat bahwa hadis Ahad tidak menghasilkan keyakinan dan tidak digunakan sebagai dalil dalam masalah Aqidah” (Lihat Kitab Radu’ alal Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyah hal 191).
Syeikh DR. Muhammad Wafa’ menegaskan bahwa: ‘’Menurut Mayoritas Ulama hadis-hadis Rasul SAW terbagi menjadi dua, yaitu hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Sedang Ulama Hanafiyah menambahkan satu, yaitu hadis masyhur‘’. Kemudian veliau melanjutkan pembahasannya: ‘’Sedang Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau lebih yang tidak mencapai batas Muatawatir. Ia memberikan keraguan, serta tidak dapat memberikan ketenangan dan keyakinan’’ (Lihat kitab Ta’arudh al-adilati As-Syar’iyati min Al-Kitabi Wa As-Sunnahi Wa At-Tarjihu Bainaha, hal. 70).).
Prof. DR. Mukhtar Yahya dan Prof. Fatchurrahman menegaskan bahwa Hadis ahad tidak dapat digunakan untuk menetapkan sesuatu yang berhubungan dengan aqidah dan tidak pula untuk menetapkan hukum wajibnya suatu amal (Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam; hal 54).
Ust. Moh. Anwar Bc.Hk juga menegaskan bahwa para Muhaqqiqin menetapkan hadis ahad shohih diamalkan dalam bidang amaliyah baik masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu’amalah, tetapi tidak dalam masalah aqidah/keimanan karena keimanan\keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang Qoth’I, sedangkan hadis ahad hanya memberikan faedah Dzonni (Ilmu Mustholah Hadits, hal. 31).
Maulana M. rahmatulah Kairanvi berkata tatkala membela hadis dan autentitasnya dari serangan para orientalis : “Hadis Ahad adalah jenis hadis yang diriwayatkan dari seorang perawi kepada seorang perawi lainnya atau sekelompok perawi, atau sekelompok perawi kepada seorang perawi”. Selanjutnya beliau mengatakanbahwa: “Hadis Ahad tidak menghasilkan kepastian sebagaimana dua contoh diatas. Hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam masalah aqidah, tetapi diterima sebagai dalil dalam masalah amaliyah praktis” (Izhar Al-Haq juz 4).
E. Daftar pustaka
Sayyid Qutub --> Sayyid Qutub, Fi Dzilalil Quran, juz 30, hal. 293-294

Imam Syaukani --> Irsyaad al-Fuhuul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushuul, hal.48. Diskusi tentang hadits ahad, apakah ia menghasilkan keyakinan atau tidak setidaknya bisa diikuti dalam kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, karya Imam al-Amidiy; [lihat Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, juz I, Daar al-Fikr, 1417 H/1996 M, hal.218-223].
Prof Mahmud Syaltut --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, hal. 63.
Al-Ghazali --> Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Asnawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Imam Bazdawiy --> IIslam, ‘Aqidah wa Syari’ah, ed.III, 1966, Daar al-Qalam, Hal. 64
Al-Kasaaiy --> Al-Kasaaiy, Badaai’ al-Shanaai’, juz.I, hal.20
Imam Al-Qaraafiy --> Imam al-Qaraafiy, Tanqiih al-Fushuul , hal.192.
Al-Qadliy --> Syarh Mukhtashar Ibn al-Haajib
Dr. Rifat Fauziy, --> Dr. Rifat Fauziy, al-Madkhal ila Tautsiiq al-Sunnah, ed.I, tahun 1978.
http://syabab1924.blogspot.com/2010/10/pendapat-para-ulama-seputar-menolak.htm, 24 oktober 2010, 19.22.
http://yaummi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=148&Itemid=169, 24 0ktober 2010, 19.20.
http://keepfight.wordpress.com/2009/10/16/pendapat-ulama-tentang-hadits-ahad/, 24 0ktober 2010, 19.28.

Senin, 26 Juli 2010

HIKAYAT ZAKARIA

Hikayat Islam Mengenai Zakaria, Maryam, Yahya, dan Isa

A. Pendahuluan
Dalam kisah para nabi yang sering didengar atau diketahui itu ada 24 nabi sebelum Muhammad yang tercantum namanya dalam Al-Qur’an salah satunya Nabi Zakaria yang bisa diketahu melalui kitab-kitab suci yaitu Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Disini penulis akan menyampaikan dan menjelaskan tentang Hikayat Zakaria yang isi naskah ini tentang kisah Zakaria, yahya dan Isa beserta Maryam ibunya. Adapun yang akan penulis jelaskan adalah mengenai diskripsi naskah, perbandingan naskah, dan transliterasi naskah.

B. Diskripsi Naskah
Ada tiga naskah yang membahas hikayat Zakaria dalam katalogus Van Ronkel yang tersimpan dalam musium Pusat Jakarta dan penulis memaparkan tentang terjemahannya yang sudah disalin dengan bahasa Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Bat. Gen. 201 yang formatnya 18 X 13 cm; pada tiap halaman terdapat 13 baris bertulis. Tebal naskah berjumlah 116 halaman, dibuat pada tanggal 24 Rabi’ul awal tahun 1241 Hijriah. Adapun judul naskah adalah Riwayat Al-Masih yang menceritakan tentang Zakaria, Maryam, Yahya serta Isa tapi yang paling banyak diceritakan disini mengenai kisah Nabi Isa dari dia lahir, diangkat jadi nabi, mukzizat-mukzizatnya dan banyaknya orang yang tobat dibuatnya. Berdasarkan catatan yang terakhir kitab atau naskah ini dirapikan oleh Gubenur Jenderal Van der Capelleh dan naskah tersebut sudah tidak ada lagi.
2. Coll. V. d. Wall 104, format naskah berukuran 32 X 20 cm, tebalnya 82 halaman dan pada tiap-tiap halaman ada 9 baris bertulis dan hanya bagian kiri dari tiap halaman berisi. Naskah ini dibuat pada tanggal 17 Januari 1845 Masehi dengan judul Naskah Nabi Zakaria, dan halaman terakhir berceritakan tentang hikayat Maryam, dalam penceritaan naskah ini cerita Zakaria relatif sedikit dan lebih banyak menceritakan tentang Maryam, Yahya dan Isa, demikian juga tentang Iblis yang berkali-kali muncul dalam rangkaian cerita, juga ramalan Isa tentang adanya nabi sesudahnya, dan isi naskah diakhiri dengan kematian seorang pemuda yang mirip dengan Isa.
3. Coll. V. d. Wall 105, dengan format berukuran 18 x 11 cm, tebal 148 halaman dan pada tiap halaman berisi 9 baris bertulis. Dibuat pada hari sabtu tanggal 20 Ramadhan tahun 1278 Hijriah dengan judul Hikayat Nabi Allah Isa dikandungkan ibunya Siti Maryam.
Dari tiga naskah diatas yang masih ada sampai sekarang yaitu naskah 104 dan 105, sedangkan naskah 201 sudah tida ada lagi dan kedua naskah itu bisa diketahui di Musium Pusat Jakarta, sedang di perpustakaan Ignatius Yogyakarta hanya naskah terjemahan dan sudah dikaji secara mendalam dan menyeluruh dari tiga naskah tersebut, Dua naskah tersebut adalah milik atau koleksi H. Von de Wall, beliau seorang yang mempunyai koleksi besar naskah-naskah Melayu, Arab, Jawa dan naskah tersebut diwariskan kepada pemerintahan Hindia Belanda, lalu dititipkan di Musium Pusat jakarta.

C. Perbandingan Naskah
Dalam perbandingan ini penulis hannya mencamtumkan dua naskah yaitu naskah 104 dan 105 yang memberikan keterangan bahwa adanya tabahan, pengurangan, perubahan kata dalam naskah atau perbedaan gaya kalimat, dan diringkas menjadi lebih mudah untuk dipahami, tetapi intinya sama. Maka dari itu penulis paparkan sebagai berikut.
1. Isi naskah 104 mengenai kisah sebelum kelahiran Isa atau ketika Maryam diasuh oleh Nabi Zakaria sampai dibunuhnya seorang pemuda yang mirib dengan Isa.
2. Isi Naskah 105 lebih ringkas yaitu tidak sampai pada akhir cerita pada naskah 104 terbunuhnya seorang pemuda yang mirip dengan Isa.
3. Naskah 104 pada halaman 3 baris 17, 18 dari atas yang terjemahnya sebagai berikut: “Maka diberinya oleh Zakaria pengasuh Maryam tiga, empat orang perempuan yang sholeh.
4. Naskah 105 pada halaman 3 baris 8 dari atas yang berbunyi: “Diberi oleh Zakaria pengasuh empat orang perempuan yang sholeh-sholeh.
5. Naskah 104 pada halaman 4 baris 1-6 dari atas yang terjemahnya sebagai berikut: “Maka apabila balighlah Maryam itu dating kepada dua belas tahun umurnya, maka diajarkannyalah oleh Zakaria ilmu dan berbuat bakti kepada Allah Ta’ala. Maka diperbuatkannya akan Maryam oleh Zakaria suatu Masjid. Maka duduklah Maryam didalam masjid itu puasa pada siang hari, berdiri pada malam sembahyang.
6. Naskah 105 pada halam 4 baris 2-8 dan halaman 5 baris 1-2 berbunyi: “Hatta berapa lamanya maka sampaikanlah dua belas tahun umurnya Maryam, maka diajar oleh Nabi Zakaria ilmu berbuat ibadah kepada Subhanahu wata’ala. Maka diperbuatkannya oleh Zakaria suatu masjid. Maka disanalah Maryam duduk berbuat ibadat kepada Allah Ta’ala, puasa pada siangnya, berdiri sembahyang pada malamnya.
7. Naskah 104 yang meliputi 82 halaman yang bertulis tangan dari halaman pertama menyebut-yebut Zakaria serta mulai halaman 29 sampai 82 dipaparkan secara khusus mengenai Isa, dan Yahya.

D. Transaliterasi Naskah
Terjemahnya:
“Alkisah Zakaria Alaihissalam.
Adapun Zakaria menghimpunkan segala kaum Bani Israil akan mencari orang itu,
Maka mereka itu itupun menurut kata Nabi Zakaria Dan membawa imanlah akan nabi.
Maka tiap-tiap hari orang itu datang menghadap Zakaria.
Maka ujar Zakaria akan mereka itu kepada hal nabi yakni firman Allah Ta’ala,
Bahwasanya Allah Ta’ala memilih Adam dan Nuh segala keluarganya Imran dalam alam.
Maka diceritakan, apabila matilah ibu Maryam Dan bapanya,
jadi yatimlah Maryam, tiada beribu Dan berbapa.

Setelah itu berhimpunlah segala Zahid kaum Bani Israil Dan segala pendeta Dan segala Abid.
Maka adalah segala mereka itu di Baitulma’dis dua belas ribu Abid.
Maka adalah didalam mereka itu Nabi Zakaria terlebih dari pada segala mereka itu takutnya akan Allah Ta’ala.
Maka datanglah segala kaum Bani Israil berkata,
Bahwa Maryam itu Matilah ibunya Dan bapaknya,
Maka yatimlah ia, barangsiapa memeliharakan dia

E. Kesimpulan
Berdasarkan factor-faktor yang diuraikan yaitu faktor bahasa dan isi dapat ditarik kesimpulan bahwa naskah 104 itu lebih asli dari naskah 105 karena kedua naskah tersebut berasal dari koleksi Von de Wall, serta dalam segi bahasa yang digunakan naskah 104 lebih kental unsur terjemahan sedang naskah 105 lebih menggunakan bahasa yang mudah untuk dipahami atau perluasan dalam menceritakan sehingga mudah untuk dicerna, dan dalam segi pembuatannya pun lebih dahulu naskah 104 yang dibuat tahun 1845 Masehi sedang naskah 105 dibuat tahun 1862 Masehi.

F. Penutup
Demikian yang dapat penulis sampaikan mudah-mudahan bermanfaat, apabila ada salah dalam penulisan dan dalam penjelasannya, penulis memohon kritik dan saran yang membangun agar penulis lebih sempurna lagi dalam membuat makalah.

G. Daftar Pustaka
- Nalom Siahaan, Hikayat Zakaria, Jakarta: BPK Gunung Mulia.1974.
- Coll. V. d. Wall 104, Naskah Nabi Zakaria, 1845 Masehi.
- Coll. V. d. Wall 105, Hikayat Nabi Allah Isa dikandungkan ibunya Siti Maryam, 1862 Masehi.

Senin, 12 April 2010

HADITS-HADITS PUASA SENIN KAMIS

HADITS-HADITS TENTANG PUASA SENIN KAMIS
Studi Ma’anil al-Hadits Tentang Puasa Senin Kamis



A.    Latar Belakang Masalah
Allah SWT. menjadikan ibadah beraneka ragam yang tujuannya untuk menguji manusia, apakah akan menjadi pengikut hawa nafsu atau menjalankan perintah Allah SWT. sebagian ajaran agama Islam ada yang berbentuk menahan diri dari hal-hal yang disukai, seperti puasa atau lainnya. Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia namun, ia bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad dua puluh ini masih melakukannya dengan berbagai motif dan dorongan.[1] Puasa dalam arti menahan dengan niat ibadah[2] menahan nafsu dari hal-hal yang disukai berupa makanan, minuman, bersetubuh, dan menahan dari hal-hal yang dapat mengurangi pahala dalam berpuasa, sejak terbitnya fajar kedua sampai terbenamnya matahari dengan mengharap ridha Allah SWT.[3] puasa dilakukan antara lain dengan tujuan untuk memelihara kesehatan, pengendalian diri, dan untuk memperoleh taqwa, tujuan tersebut bisa dicapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri.
Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang dilaksanakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Allah swt. telah mewajibkannya kepada kaum yang beriman, sebagaimana telah diwajibkan atas kaum sebelum Muhammad saw. Puasa merupakan amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu. Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:  1) Puasanya orang-orang sufi, yakni praktek puasa setiap hari dengan maksud menambah pahala. Misalnya puasanya para pendeta, 2) Puasa dari berbicara, yakni praktek puasa kaum Yahudi. Sebagaimana yang telah dikisahkan Allah dalam Al-Qur'an, surat Maryam ayat 26 : "Jika kamu (Maryam) melihat seorang manusia, maka katakanlah, sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini" (Q.S. Maryam :26), 3) Puasa dari seluruh atau sebagian perbuatan (bertapa), seperti puasa yang dilakukan oleh pemeluk agama Budha dan sebagian Yahudi, 4) Puasa Asyura, yaitu puasa amalan orang Yahudi sebelum datang Islam hingga sampai datang Islam, dan Nabi mengikuti puasa Asyura sampai ada perintah puasa Ramadhan baru Nabi menghentikan puasa tersebut.[4] Ibadah puasa dibagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah, adapun puasa wajib adalah puasa Ramadhan, puasa Ramadhan diwajibkan bagi setiap muslim, baligh, berakal, mampu untuk berpuasa baik laki-laki maupun perempuan, serta tidak ada hal-hal yang menghalangi dalam berpuasa seperti haid dan nifas, yang kedua hal tersebut dikhususkan pada perempuan.[5] Perintah puasa Ramadhan itu termaktum dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 183.
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,[6]
Sedangkan puasa sunnah diantaranya, 1) puasa Nabi Dawud as., yakni sehari puasa dan sehari tidak puasa, 2)  puasa pada bulan Muharram pada tanggal sembilan dan sepuluh, 3) Puasa enam hari bulan Syawal. Seperti sabda Nabi saw.,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ[7]
Artinya: Bahwasannya Rosulullah saw., bersabda: “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diiringi enam hari pada bulan Syawal, maka (pahala puasanya) sama seperti berpuasa setahun penuh.”[8]
4) puasa tiga hari pada tiap bulan, yakni pada tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriah yang lebih dikenal dengan puasa putih, atau berpuasa pada jum’at pertama yaitu senin dan kamis, serta jum’at kedua pada hari kamis. Atau yang lebih dikenal dengan puasa senin dan kamis. 5) puasa sembilan hari diawal bulan Zulhijah, yang paling utama adalah pada tanggal sembilan, yaitu hari Arafah bagi umat Islam yang sedang menunaikan ibadah haji, yang fadilahnya sebagai pengampunan  atau penghapus dosa setahun yang lalu dan yang akan datang. 6) puasa fi sabilillah, seperti sabda Nabi, dari Abu Said Al-Khudri ra.,
 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بَعَّدَ اللَّهُ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا[9]
Artinya: Dari Abi Said Al-Khudri ra., ia berkata, saya mendengar Nabi saw., bersabda “ Barangsiapa berpuasa satu hari dijalan Allah, Allah akan menjauhkannya dari api neraka selama 70 tahun.”[10] 
Dari peryataan diatas mengenai puasa wajib dan sunnah, keduaanya memiliki keistimewaan, seperti dalam sabda Nabi Muhammad saw., yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ[11]
Artinya: Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah saw., bersabda “Semua amal anak Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai 700 kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia (anak Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya demi Aku. Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa disisi Allah adalah lebih wangi daripada bau kasturi.” [12]
Itulah keistimewaan yang diberikan Allah kepada orang yang mengerjakan puasa, mengenai puasa sunnah, yang amat digemari dan dilaksanakan oleh masyarakat khususnya di Indonesia adalah puasa senin dan kamis, menurut sebagian orang, seperti yang tercamtum dalam buku keajaiban puasa senin kamis karya Suyadi, mereka beralasan bahwa;
1.      Puasa senin dan kamis adalah media monitoring aktivitas kesehariaan dalam sepekan. Dua hari sebagai monitor untuk tujuh hari kedepan dengan selang tengah, yaitu kamis, merupakan momentum strategis untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.[13]
2.      Puasa senin dan kamis adalah pengendali segala hawa nafsu manusia. Sebagaimana dalam adab berlaku berpuasa, maka dengan berpuasa segala tindakan dan ucapannya akan jauh dari segala bentuk kegaduhan, kebohongan dan kelicikan. Orang yang berniat secara sungguh-sungguh mencari ridha Allah SWT. dalam berpuasa, akan senang tiasa menjaga lidahnya dari segala ucapan atau perkataan kotor. Demikian juga orang yang berpuasa akan selalu menjaga perbuatan dan tindakannya dari segala bentuk kedzaliman, kecurangan, dan segala tipu muslihat.
      Abu Hurairah ra., berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda “Jika kamu sedang berpuasa, janganlah berkata keji, jangan rebut (jangan marah). Apabila ada orang yang mencaci atau mengajakmu berkelahi, hendaknya dia diberitahu: ‘Aku berpuasa’, “ (HR. Bukhari dan Muslim).[14]
3.      Puasa senin dan kamis adalah motivator terbesar dalam setiap langkah kita untuk mencapai tujuan hidup. Dalam kondisi perut lapar, bukan berarti kita kehabisan energi untuk melaksanakan aktivitas. Justru sebaliknya dengan kondisi perut yang demikian semangat aktivitas semakin kreatif dan inovatif. Disamping itu, harapan akan keberhasilan dalam segala apa yang diusahakannya begitu besar. Dalam kondisi seperti ini, orang yang dalam keadaan puasa sangat antipati terhadap putus asa dan pantang menyerah. Segala keberhasilannya ia yakini sebagai limpahan kemurahan Allah SWT. terhadap dirinya, dan segala kegagalan merupakan ujian dari Allah. Atau merupakan keberhasilan yang tertunda. Dengan demikian  sifat kesabaran dan tidak putus asa ini akan menyatu dalam sanubarinya.[15] Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 155:
Nä3¯Ruqè=ö7oYs9ur &äóÓy´Î/ z`ÏiB Å$öqsƒø:$# Æíqàfø9$#ur <Èø)tRur z`ÏiB ÉAºuqøBF{$# ħàÿRF{$#ur ÏNºtyJ¨W9$#ur 3 ̍Ïe±o0ur šúïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÎÈ                                                                                                              
      Artinya: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
      Dan juga firman Allah dalam surat Ali-‘Imran (3) ayat 134:
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ  
      Artinya: (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.[16]
4.      Puasa senin dan kamis adalah pembersih hati dan penyuci jiwa dari segala noda. Peryataan Allah akan pahala bagi orang yang berpuasa tidak diragukan lagi. Bahwa puasa adalah ibadah untuk Allah dan bukan untuk diri orang yang berpuasa sendiri, serta Allah sendirilah yang akan memberikan pahala puasa orang tersebut, bukan melalui malaikat atau makhluk yang lainnya. Janji Allah tersebut, jika dicermati secara seksama  mengandung harapan dan rasa optimis yang begitu tinggi. Harapan bagi orang yang berpuasa terhadap janji pahala Allah secara lansung tersebut membuat hati kian peka terhadap hal-hal yang dilarang Allah SWT. Segala perbuatannya selalu ditanyakan kepada Qur’an dan Hadits, apakah hal ini halal atau haram, boleh atau tidak, dibenci atau disukai oleh Allah SWT.. Hatinya kian tunduk dan taat pada-Nya, serta sangat takut akan siksa dan azab di akhirat nanti,[17] seperti dalam firman Allah surat An-Nur (24) ayat 63 dan surat Huud (11) ayat 102.
žw (#qè=yèøgrB uä!$tãߊ ÉAqߧ9$# öNà6oY÷t/ Ïä!%tæßx. Nä3ÅÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ 4 ôs% ãNn=÷ètƒ ª!$# šúïÏ%©!$# šcqè=¯=|¡tFtƒ öNä3ZÏB #]Œ#uqÏ9 4 ÍxósuŠù=sù tûïÏ%©!$# tbqàÿÏ9$sƒä ô`tã ÿ¾Ín͐öDr& br& öNåkz:ŠÅÁè? îpuZ÷FÏù ÷rr& öNåkz:ÅÁムë>#xtã íOŠÏ9r& ÇÏÌÈ  
      Artinya: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
     šÏ9ºxx.ur ä÷{r& y7În/u !#sŒÎ) xs{r& 3tà)ø9$# }Édur îpuHÍ>»sß 4 ¨bÎ) ÿ¼çnx÷{r& ÒOŠÏ9r& îƒÏx© ÇÊÉËÈ  
Artinya: Dan Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.[18]
Dari uraian diatas, puasa sunnah yang amat digemari, disenangi dan dikerjakan oleh sebagian masyarakat khususnya di Indonesia adalah puasa senin dan kamis, tetapi disini peneliti masih meragukan tentang waktu pelaksanaan puasa senin kamis itu, juga sebagian dikalangan ulama masih mempertanyakan apakah benar Nabi Muhammad saw. melakukan atau melaksanakan puasa senin kamis dalam satu pekan berjumlah dua kali puasa, seperti dalam riwayat Ahmad no 25091.
حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ ، قَالَ : حَدَّثَنِي بَحِيرُ بْنُ سَعْدٍ ، عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ ، عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ ، أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ عَائِشَةَ عَنِ الصِّيَامِ ، فَقَالَتْ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ ، وَكَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمِ الْخَمِيسِ وَالاِثْنَيْنِ.    
Dalam riwayat diatas belum menjelaskan secara tegas waktu pelaksanaannya. Sedang dalam sebuah riwayat lain ada yang menyatakan dengan tegas tentang waktu melaksanakan puasa senin kamis yaitu Nabi Muhammad melakukan puasa dalam satu bulan itu tiga kali, yakni jum’at pertama berpuasa pada hari kamis dan senin, pada jum’at kedua berpuasa hari senin, dalam satu bulan. Dari peryataan itu peneliti mengungkapkan bahwa, apakah benar Nabi melakukan puasa secara khusus pada hari senin dan kamis dalam satu pekan, seperti yang dilakukan kebanyakan masyarakat khususnya di Indonesia. Ataukah Nabi malakukan puasa dalam satu bulan tiga kali yaitu pada jum’at pertama berpuasa kamis dan senin, sedang jum’at kedua berpuasa pada hari senin, ini senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh An-Nas’i no 2675
أخبرني زكريا بن يحيى قال حدثنا إسحاق قال حدثنا النضر قال حدثنا حماد عن عاصم بن أبي النجود عن سواء عن حفصة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر يوم الخميس ويوم الإثنين من الجمعة الأولى ومن الجمعة الثانية يوم الإثنين.
Hipotesis semetara peneliti memberikan peryataan bahwa, Nabi itu hanya melakukan puasa dalam satu bulan itu tiga kali, yaitu jum’at pertama berpuasa pada hari kamis dan senin, sedang jum’at kedua berpuasa pada hari senin. Sedang yang menyatakan Nabi berpuasa dalam satu pekan dua kali itu tidak ada dalil yang mendukung secara mutlak. Sehingga dengan alasan inilah yang menjadi latar belakang peneliti, untuk menulis karya ilmiah ini, penulis tidak bermaksud menggugat terhadap puasa senin kamis yang sudah berkembang saat ini, tetapi peneliti ingin mencoba meluruskan kesalah pahaman dalam memahami maksud hadits Nabi Muhammad saw. dan juga dalam sebuah ibadah itu memerlukan dalil yang jelas keshahihannya baik dalam segi sanatnya dan matan haditsnya.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kualitas hadits tentang puasa senin dan kamis?
2.      Apakah alasan Nabi melakukan puasa senin dan kamis?
3.      Kapankah waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis?
4.      Apakah ada dalil yang menegaskan bahwa Nabi melakukan puasa senin dan kamis pada tiap pekan dua kali?

C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Untuk mengetahui kualitas hadits tentang puasa senin dan kamis.
2.      Untuk mengetahui alasan Nabi melakukan puasa senin kamis.
3.      Untuk mengetahui waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis.
4.      Untuk mengetahui ada atau tidak dalil puasa senin dan kamis tiap pekan dua kali.

D.    Telaah Pustaka
Kajian pustaka ini merupakan uraian mengenai hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tentang masalah yang sejenis, sehingga dapat diketahui dengan pasti tentang posisi peneliti dan kontribusi peneliti.
Mengenai objek yang penulis bahas, penulis menemukan tiga buah karya tulis yang pernah membahas tentang puasa senin kamis, tetapi dalam segi hubungan puasa senin kamis dalam pengendalian emosi atau hati, pengaruhnya puasa senin kamis terhadap suhu tubuh basal, dan keajaiban puasa senin kamis. Adapun penjelasannya dari tiga karya tersebut adalah pertama; karya dari Fitrianingsih, dengan judul penelitiannya “Hubungan antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Nurussalam Krapyak Yogyakarta.[19] Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa, semua orang bahkan makhluk hidup didunia ini setiap waktu pasti atau mengalami suatu emosi baik itu yang menguntungkan maupun yang merugikan diri sendiri dan orang lain. emosi pada diri seseorang tidak dapat  dihindari  ataupun dihilangkan, emosi yang timbul secara berlebihan akan mudah dikendalikan jika seseorang dengan terbiasa dapat mengenali dirinya sendiri dan mampu menguasai keadaan dirinya. Akan tetapi jika seseorang sulit mengendalikan emosinya yag berlebihan tersebut, maka emosi itu akan merugikan seseorang tersebut.
Ada beberapa macam faktor yang dapat  mempengaruhi  pengendalian emosi, salah satuanya ialah dengan puasa senin kamis, hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, karena tidak memerlukan biaya dan tempat yang khusus untuk melakukannya. Puasa senin kamis dapat dijadikan wahana pelatihan mental dengan cara membiasakan diri berpuasa pada hari senin dan kamis, kecuali hari-hari yang dilarang untuk berpuasa, dengan kesadaran diri yang tinggi dan keikhlasan dalam menjalankan ibadah kepada Allah swt.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikansi antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri pondok pesantren nurussalam krapyak yogyakarta. Puasa senin kamis juga dapat dijadikan sebagai salah satu teknik dalam sebuah bimbingan dan penyuluhan maupun sebagai pelatihan bagi diri sendiri dalam melatih suatu pengendalian emosi, guna dijadikan seseorang dalam keadaan sehat baik fisik maupun  psikisnya untuk menjadi lebih baik bagi diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Kedua; skripsi karya Yeni Purwaningsih, dengan judul penelitiannya “Pengaruh Puasa Senin Kamis Terhadap Suhu Tubuh Basal Santri Pondok Pesantren Nurul Umah Putri Kota Gede Yogyakarta.[20] Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah pertama; suhu tubuh orang yang berpuasa senin kamis lebih tinggi dari pada orang yang tidak berpuasa. Kedua; penelitian mengenai pengaruh puasa senin kamis terhadap suhu tubuh basal dapat digunakan sebagai alternatif sumber belajar biologi SMA kelasa XI.
Adapun tulisan yang berbentuk buku mengenai puasa senin kamis yang ditulis oleh Suyadi dengan judul “Keajaiban Puasa Senin Kamis[21] dalam bukunya tersebut mengungkapkan tentang rahasia-rahasia dibalik ritual puasa senin kamis, mengenai kesaksian orang yang menjalankan puasa senin kamis, pertama; kisah seorang anak yang menemukan keajaiban setelah rutin menjalankan puasa senin kamis. Dulu anak  tersebut sebelum menjalankan puasa, dia sangat kurang kecerdasannya dalam hal berhitung (matematika), bahkan dalam ujian nilainya tidak sampai lima, namun setelah ia menjalakan puasa senin kamis, anak itu menjadi mudah menangkap dan cepat mengerti dalam berhitung sehingga ia menjadi anak yang cerdas sampai lulus SMA. Menurut penelitian atau analisis para dokter mengungkapkan bahwa, ketika perut dalam keadaan lapar, maka energi akan terpusat pada otak, dan dengan begitu otak akan bekerja secara optimal. Sebaliknya jika perut dalam keadaan terlalu kenyang, maka energi akan berpusat pada penguyahan makanan dalam lambung, sementara sinergi keotak akan sangat kecil. Oleh karena itulah banyak orang setelah makan pasti mengantuk, dan saat gantuk otak tidak bekerja lagi. Kedua; kisah seoarang mahasiswa yang awalnya mudah sakit-sakitan seperti, sakit kepala, perut, panas dingin, juga penyakit hati yaitu mudah marah, iri, riya’, dan sombong. Namun setelah menjalankan puasa senin kamis dengan secara rutin, ia tidak lagi sakit-sakitan, ataupun penyakit hatinya.
Dari uraian diatas dan Sejauh yang peneliti amati dari penelusuran peneliti terhadap sejumlah literatur samapai sejauh ini, belum ada yang membahas tentang hadits-hadits tentang puasa senin kamis dalam hal Tahqiq al-Haditsnya ataupun dalam hal waktu pelaksanaan puasa senin kamis, dengan demikiaan maka tema dalam penelitian ini layak untuk diteliti lebih lanjut.


E.     Metode penelitian
Sesuatu penelitian baik dalam pengumpulan data maupun pengolahannya pasti membutuhkan atau mengharuskan adanya suatu metode yang digunakan. Karena tanpa metode yang jelas maka penelitian tidak akan memperoleh hasil yang maksimal, sistematis, terarah, dan kemungkinan besar penelitian kabur. Metode merupakan cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang sedang dikaji. Dalam kaitannya penelitian ini, penulis akan menggunakan metode yaitu:
1.    Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data tentang penelitian ini dengan cara mengumpulkan data-data primer juga dengan data-data sekunder, adapun  macam-macam sunber primer adalah pertama; Kutub al-Tis’ah (Kitab shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasa’i, Sunan Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Musnad Ahmad bin Hambal dan al-Muwatta’ Imam Malik), serta kitab syarah Hadits yang memuat hadits tentang puasa senin dan kamis. Adapun dalam proses pencarian hadits peneliti menggunakan CD Mausu’ah Hadits Asy-Syarif. Kemudian langkah selanjutnya dalam pengumpulan data-data mengenai biografi para perowi berikut tentang para pengkritik hadits, peneliti mengambil pada kitab-kitab yang berhubungan yaitu kitab Rijalul Hadits (Tahdzibut at-Tahdzib dan Tahdzib al-Kamal fi Asma ar-Rijal). Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah berupa buku-buku, majalah, artikel-artikel, atau melalui media internet atau yang lebih dikenal dengan google, yang tentunya terkait dengan tema yang dikaji delam penelitian ini.
2.        Analisis Data
Mengenai data-data yang sudah diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a.       Tahqiqil Hadits
Adapun langkah-langkah yang ditempuh atau dilakukan dalam mentahqiq hadits adalah:
1)      Takhrij al-Hadits
Kegiatan melacak hadits atau takhrij al-hadits sangat membantu dan penting bagi seorang yang meneliti hadits, dengan melakukan takhrij al-hadits  seorang peneliti akan mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti, berbagi periwayat yang telah meriwayatkan hadits itu, dan ada atau tidaknya karroborasi (Syahid[22] dan Mutabi’[23]) dalam sanad terhadap hadits yang diteliti.[24]
2)      ‘Itibar al-Sanad
I’tibar adalah menghadirkan atau menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadits yang dikaji, supaya dapat diketahui ada tidaknya periwayatan yang lain untuk sanad yang dimaksud. Adapun tujuanya adalah agar terlihat dengan jelas jalur sanad yang diteliti, baik yang menyangkut dengan nama-nama periwayatnya, serta metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan dan akan diketahui apakah sanad hadits yang diteliti memiliki mutabi’ dan syahid ataukah tidak.[25]
3)      Kritik Sanad
Sanad secara umum dipahami sebagai jalannya hadits sampai ke-Nabi atau rangkaian para perowi hadits yang jalur periwayatannya sampai kepada Nabi. dengan demikian sanad mengandung dua bagian penting yaitu; (a) menyangkut nama-nama para perowi hadits atau para periwayat hadits, (b) lafadz-lafadz yang digunakan oleh masing-masing periwayat dalam meriwayatkan hadits, misal dengan menggunakan kata sami’tu, akhbarana, akhbarani, hadasana, dan ‘an. Sehingga kritik sanad ini digunakan untuk meneliti keadaan perowi diantaranya meneliti kualitas pribadi periwayat, meneliti kapasitas intelektual periwayat, meneliti persambungan sanad, meneliti syuzuz, dan illah.[26]
4)      Kritik Matan
Penelitian matan hadits berbeda dengan penelitian terhadap sanad baik pada kriteria maupun cara penilaiannya, istilah yang digunakan dalam menilai suatu matan dari segi diterima atau ditolak suatu matan hadits adalah maqbul[27] dan mardud[28], para jumhur ulama mengatakan bahwa suatu matan hadits itu diterima karena beberapa hal;
a.       Tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
b.      Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir yang setatusnya lebih kuat atau sunnah yang lebih masyhur atau ahad.
c.       Tidak bertentangan dengan ajaran pokok Islam.
d.      Tidak bertentangan dengan sunnatullah.
e.       Tidak bertentangan dengan fakta sejarah atau sirah nabawiyah yang shahih.
f.       Tidak bertentangan dengan indra, akal, kebenaran ilmiah, atau sangat sulit diinterpretasikan secara rasional.
Hal-hal tersebut juga didukung dengan fenomena kenyataan penelitian hadits lebih sulit dibandingkan dengan penelitian matan hadits.
b.      Ma’ani al-Hadits
Dalam kajian ma’ani al-hadits ini, peneliti akan mengambil metode yang ditawarkan oleh al-Syafi’i dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif, yaitu dengan cara:
1)      Penyelesaian dalam bentuk kompromi
a)      Penyelesaian berdasarkan pemahaman dengan pendekatan kaidah usul.
b)      Penyelesaian berdasarkan pemahaman kontekstual.
c)      Penyelesaian berdasarkan pemahaman korelatif.
d)     Penyelesaian dengan cara takwil.
2)      Penyelesaian dalam bentuk nasakh mansukh.
3)      Penyelesaian dalam bentuk tarjih.
4)      Penyelesaian dalam masalah tanawwu’ al-‘ibadah.[29]

F.      Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan dalam penulisan skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yakni halaman depan, isi, dan penutup.
BAB Pertama, berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan, latar belakang, batasan dari rumusan masalah, alasan pemilihan judul, tujuan dan kegunaan, telaah pustaka, metode penelitian,  dan sistematika pembahasan.
BAB Kedua, berisi tentang Tahqiqil hadits dengan mengunakan metode Takhrij al-Hadits (memaparkan hadits-hadits yang terkait) sehingga terlihat ada variasi sanad dan matan haditsnya, kemudian melakukan i’tibar hadits, setelah itu mengkritik periwayatannya sehingga terlihat kualitas haditsnya, kemudian menganalisa matan hadits, agar mendapat kehujjahan hadits untuk dipahami lebih lanjut.
BAB Ketiga, berisi tentang pemahaman hadits puasa senin kamis yang membahas  atau mengkaji tentang waktu pelaksanakan puasa senin dan kamis, dan pembuktian atau keabsahan dalil yang menegaskan bahwa Nabi melakukan puasa senin dan kamis pada tiap pekan dua kali.
BAB Keempat, berisi penutup yang berfungsi sebagai penegasan kembali hasil eksplorasi tema, meliputi kesimpulan dan saran-saran. Adapun daftar pustaka dan abtraksi merupakan kelengkapan dan lampiran.















RENCANA DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAAN
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
D.    Telaah Pustaka
E.     Metode penelitian
F.      Sistematika pembahasan
BAB II. TAHQIQIL HADITS
A.    Takhrij
B.     I’tibar Sanad Hadits
C.     Penelitiaan Sanad Hadits
D.    Analisis Matan Hadits
BAB IV. PEMAHAMAN HADITS PUASA SENIN KAMIS
A.    Waktu Pelaksaan Puasa Senin kamis
B.     Alasan Nabi Berpuasa Pada Hari Senin kamis
C.     Ada atau Tidak Dalil Tentang Puasa Senin Kamis Dalam Satu Pekan Dua kali
BAB V. PENUTUP
A.    Kesimpulan
B.     Saran





DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Bandung: Mizan Media Utama, 2009.

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim, (cetakan ke-sepuluh, Jakarta Timur: PT. Darul Falah, 2006).

Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Cetakan ke-enam, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009). 

Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia dan Inggris, Al-Quran in Microsoft Word 2010.

CD Maushu’ah Hadits As-Syarif Al-Khutub Sittah, Sakhr, 1991.
Suyadi, Keajaiban Puasa Senin dan Kamis, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009.
Skripsi karya Fitrianingsih, Hubungan antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Nurussalam Krapyak Yogyakarta, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, 2008.

Skripsi karya Purwaningsih, Pengaruh Puasa Senin Kamis Terhadap Suhu Tubuh Basal Santri Pondok Pesantren Nurul Umah Putri Kota Gede Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Biologi, 2007.

Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodelogi Penelitian Hadits, Yogyakarta: TERAS, 2009.
Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Al-Fatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009.


[1] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat), Bandung: Mizan Media Utama, 2009, hlm. 479.
[2] Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, penerjemah Fadhli Bahri, Lc. Ensiklopedi Muslim, (cetakan ke-sepuluh, Jakarta Timur: PT. Darul Falah, 2006), hlm. 413.
[3] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk, Ensiklopedi Islam Al-Kamil, (Cetakan ke-enam, Jakarta Timur: Darus Sunnah Press, 2009), hlm. 785-786.
[5] Ibid., hlm. 789.
[6] Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia dan Inggris, Al-Quran in Microsoft Word 2010, Surat Al-Baqarah (2) ayat 183.
[7] CD Maushu’ah Hadits As-Syarif Al-Khutub Sittah, Sakhr, 1991. Hadits riwayat Muslim, bab shiam no 1984.
[8] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, op. Cit., hlm. 804.
[9] CD Maushu’ah Hadits As-Syarif Al-Khutub Sittah, hadits riwayat Bukhari bab jihad wa sirra no 2628.
[10] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, op. Cit., hlm. 805.
[11] CD Maushu’ah Hadits As-Syarif Al-Khutub Sittah, hadits riwayat Muslim bab fadhilah shiam no 1945.
[12] Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, op. Cit., hlm. 788.
[13] Suyadi, Keajaiban Puasa Senin dan Kamis, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009. Hlm. 4.
[14] Ibid., hlm. 6.
[15] Ibid., Hlm. 6.
[16] Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia dan Inggris, surat  Al-Baqarah (2) ayat 155 dan  surat Ali-‘Imran (3) ayat 134
[17] Ibid,.
[18] Al-Qur’an dan Terjemah Bahasa Indonesia dan Inggris, surat An-Nur (24) ayat 63 dan surat Huud (11) ayat 102.
[19]Lihat Skripsi karya Fitrianingsih, Hubungan antara puasa senin kamis dengan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Nurussalam Krapyak Yogyakarta, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam, 2008.
[20] Lihat Skripsi karya Purwaningsih, Pengaruh Puasa Senin Kamis Terhadap Suhu Tubuh Basal Santri Pondok Pesantren Nurul Umah Putri Kota Gede Yogyakarta, Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Biologi, 2007.

[21] Lihat dalam buku karya Suyadi, Keajaiban Puasa Senin Kamis, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2009, pada Mukhadimahnya.
[22] Syahid yaitu periwayat yang bersetatus pendukung untuk shahabat Nabi atau bagian periwayat tingkat shahabat Nabi.
[23] Mutabi’ yaitu periwayat yang bersetatus pendukung periwayat yang bukan shahabat Nabi.
[24] Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodelogi Penelitian Hadits, Yogyakarta: TERAS, 2009, hlm. 32.
[25] Ibid., hlm. 67.
[26] Ibid., hlm. 102-116.
[27] Maqbul adalah hadits yang diterima oleh  mayoritas ulama hadits, yang dapat dijadikan hujjah, dan telah memenuhi syarat yaitu hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, akal sehat, tidak bertentangan dengan hadits mutawatir dan ijma’, tidak bertentangan dengan amalan dan kebiasaan ulama salaf, tidak bertentangan dengan hadits lain yang kualitasnya jauh lebih kuat. lihat: Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 165. Lihat juga: Al-Fatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits, Yogyakarta: Teras, 2009, hlm. 39.
[28] Mardud adalah hadits yang tidak diterima atau ditolak mayoritas ulama hadits, dan tidak dapat dijadikan hujjah serta wajib diingkari. Lihat: Muhammad Hasbi ash-Shiddiqy, hlm. 166-167.
[29] Lihat disertasi karya Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i (Metode Penyelesaian Hadits-Hadits Mukhtalif), Jakarta: IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayahtullah, 1990, hlm. 151-180.